Presiden Prabowo Subianto dan Peluang Demokrasi serta Hak Asasi Manusia – Tindakan yang Secara Demokratis dan Politis Benar
Oleh: MYR Agung Sidayu - Ketua Yayasan Pendidikan Indonesia - Status Konsultatif Khusus di ECOSOC - Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pendahuluan .
Pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024 dan pemerintahannya membuka peluang sekaligus tantangan bagi kemajuan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Sebagai negara yang telah beralih dari warisan otoriter menuju demokrasi yang lebih konsolidatif, kerangka konstitusional Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menekankan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2)), perlindungan HAM (Pasal 28A-28J), dan supremasi hukum.
Tulisan ini mencoba untuk menganalisis potensi Presiden Prabowo untuk memajukan demokrasi dan HAM, sambil menanggapi kritik terhadap rekam jejak masa lalunya dan kebijakan saat ini. Analisis ini mengevaluasi apakah tindakan-tindakannya dapat dianggap "secara demokratis benar" (sesuai dengan legitimasi elektoral dan tata kelola partisipatif) serta "secara politis benar" (responsif terhadap sentimen publik dan politik inklusif). Analisis ini didasarkan pada prinsip-prinsip konstitusional, standar HAM internasional, dan perkembangan terkini per 1 September 2025.
Akan tetapi, kami yakin bahwa semua permasalahan segera bisa diatasi oleh Presiden Prabowo, yang selalu saya sebut pemerintahannya adalah pemerintahan berorientasi kerakyatan, sebuah komitmen yang tetap teguh sejak masa mudanya, melalui perjuangannya mendirikan partai politik, hingga saat ini.
1. Konteks Historis dan Latar Belakang Prabowo: Implikasi bagi Demokrasi dan HAM .
Karier militer Presiden Prabowo Subianto, termasuk perannya di Tentara Nasional Indonesia (TNI) selama era Orde Baru di bawah Presiden Suharto, menjadi sorotan utama. Tuduhan pelanggaran HAM, seperti penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1997-1998 dan keterlibatan dalam konflik Timor Leste, telah didokumentasikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan organisasi internasional seperti Human Rights Watch. Peristiwa-peristiwa ini, yang berkontribusi pada jatuhnya Suharto pada 1998, memunculkan kekhawatiran tentang impunitas dan potensi kecenderungan otoriter dalam kepemimpinannya.
Secara konstitusional, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan negara untuk menghapus pelanggaran HAM berat dan memberikan reparasi. Tidak adanya dakwaan formal terhadap Prabowo, meskipun Komnas HAM mengklasifikasi kasus 1998 sebagai pelanggaran HAM berat, mencerminkan impunitas yang masih mengakar di Indonesia. Kritik menyebutkan bahwa kemenangan elektoralnya pada 2024—yang diwarnai tuduhan kecurangan, korupsi, dan intimidasi—merusak integritas demokrasi. Misalnya, Mahkamah Konstitusi (MK), yang dipengaruhi oleh hubungan keluarga (menantu Jokowi sebagai Ketua MK), dituduh bias dalam memvalidasi kelayakan kandidat.
Meski demikian, kemenangan elektoral Prabowo dengan sekitar 58% suara mencerminkan legitimasi demokratis berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Peluang pemerintahannya terletak pada reformasi legacy tersebut: membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi independen, sebagaimana direkomendasikan oleh preseden Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan mematuhi ratifikasi Indonesia terhadap Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005.
2. Peluang Demokrasi di Bawah Pemerintahan Presiden Prabowo.
Demokrasi Indonesia pasca-Reformasi 1998 telah mencatat kemajuan dalam pemilu multipartai, kebebasan berekspresi, dan partisipasi masyarakat sipil. Kepresidenan Prabowo menawarkan peluang untuk memperkuat hal ini melalui tindakan yang "secara demokratis benar"—yang berakar pada amanat konstitusional dan akuntabilitas publik.
- Reformasi Elektoral dan Kelembagaan:
Prabowo telah berjanji untuk meningkatkan transparansi pemilu dan memerangi korupsi melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah yang secara politis benar mencakup pembentukan koalisi dengan berbagai partai, mendorong konsensus legislatif berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Namun, ekspansi kabinetnya hingga lebih dari 100 anggota, termasuk personel militer aktif, mengingatkan pada doktrin dwifungsi Orde Baru, yang berpotensi melemahkan supremasi sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (4). Respons yang secara demokratis benar adalah membatasi keterlibatan militer dalam tata kelola hanya pada peran penasehat, sejalan dengan prinsip kontrol sipil demokratis.
- Respons terhadap Protes Publik:
Protes nasional baru-baru ini (Agustus-September 2025) menentang usulan tunjangan anggota DPR (misalnya, tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan) dan kenaikan pajak menunjukkan vitalitas demokrasi. Pengumuman Prabowo pada 31 Agustus 2025 untuk mencabut tunjangan tersebut setelah berkonsultasi dengan partai politik mencerminkan respons yang secara politis benar, meredakan kemarahan publik dan menegakkan hak berkumpul berdasarkan Pasal 28E ayat (3).
Namun, klaim tentang "campur tangan asing" dalam protes berisiko mendelegitimasi aspirasi sah, yang bertentangan dengan Pasal 19 ICCPR tentang kebebasan berekspresi. Untuk memanfaatkan peluang demokrasi, Prabowo harus mengutamakan dialog dengan masyarakat sipil, sebagaimana didesak oleh Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, daripada mengerahkan TNI dan polisi secara represif.
- Kebijakan Populis dan Inklusivitas: Inisiatif seperti makan gratis untuk anak sekolah dan proyek infrastruktur bertujuan menciptakan keadilan ekonomi, yang berpotensi meningkatkan partisipasi demokratis dengan mengurangi ketimpangan (akar kerusuhan). Ini sejalan dengan Pasal 33 tentang keadilan sosial. Implementasi yang secara politis benar memerlukan transparansi untuk menghindari persepsi kronisme, terutama mengingat masalah korupsi yang kronis.
3. Lanskap Hak Asasi Manusia:
Tantangan dan Langkah ke Depan HAM di bawah Prabowo menghadapi pengawasan ketat akibat peningkatan penempatan pasukan di Papua Barat sejak Oktober 2024, yang meningkatkan konflik bersenjata dan laporan eksekusi sewenang-wenang. Ini melanggar Pasal 28G ayat (2) yang melarang penyiksaan dan perlakuan merendahkan, serta kewajiban Indonesia berdasarkan Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT).
- Pelanggaran Masa Lalu dan Impunitas:
Pada hari pertama menjabat, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyangkal penculikan 1998 sebagai pelanggaran HAM berat, bertentangan dengan temuan Komnas HAM. Sikap ini mempertahankan impunitas, seperti disoroti oleh Amnesty International dan aktivis di pengasingan seperti Veronica Koman. Pemerintahan yang berorientasi pada HAM harus menuntut kasus-kasus ini, sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, untuk membangun kepercayaan.
- Kebijakan Saat Ini dan Represi:
Kebijakan yang memberikan kekuatan lebih besar kepada TNI dan polisi, serta peningkatan sensor, memicu kekhawatiran kemunduran otoriter. Protes telah meningkat menjadi kerusuhan, dengan insiden seperti kematian seorang pengemudi Gojek oleh kendaraan polisi pada Agustus 2025, mengingatkan pada kekerasan 1998. Tindakan yang secara demokratis benar mencakup penyelidikan independen oleh Komnas HAM dan pengendalian penggunaan kekuatan, sesuai dengan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan.
- Peluang Kemajuan:
Prabowo dapat memanfaatkan retorika berorientasi rakyat untuk meratifikasi Protokol Opsional ICCPR, memungkinkan pengaduan individu. Meningkatkan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM 2021-2025) dengan fokus pada Papua dan hak minoritas akan menunjukkan komitmen. Tekanan internasional dari Dewan HAM PBB dapat mendorong kepatuhan.
4. Tindakan yang Secara Demokratis dan Politis Benar: Kerangka Evaluasi .
Tindakan yang "secara demokratis benar" harus mematuhi pemisahan kekuasaan UUD 1945 (Pasal 4 ayat (1)) dan mekanisme partisipatif, sementara yang "secara politis benar" melibatkan respons inklusif dan tidak memecah belah terhadap kebutuhan publik.
Pencabutan tunjangan DPR oleh Prabowo adalah langkah yang secara politis benar, tetapi kebenaran demokratis memerlukan reformasi sistemik, seperti kode etik parlemen.
5. Rekomendasi .
Yayasan Pendidikan Indonesia merekomendasikan:
1. Reformasi Segera: Membentuk satuan tugas khusus untuk menyelidiki berbagai kasus dengan melibatkan masyarakat sipil.
2. Tindakan Legislatif: Merevisi UU TNI untuk melarang perwira aktif menjabat di posisi sipil.
3. Keterlibatan Internasional: Mengundang Pelapor Khusus PBB untuk penilaian HAM.
4. Akuntabilitas Publik: Mengadakan forum publik rutin untuk memastikan respons yang secara politis benar.
5. Peran Masyarakat Sipil: Memperkuat LSM seperti Imparsial untuk pemantauan, sesuai kritik mereka terhadap respons protes Prabowo.
6. Kesimpulan .
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk memajukan demokrasi dan HAM dengan mengatasi impunitas, meningkatkan pengawasan sipil, dan merespons kebutuhan publik secara inklusif.
Tindakan seperti pencabutan tunjangan DPR menunjukkan potensi tata kelola yang secara demokratis dan politis benar, sesuai dengan aspirasi UUD 1945. Namun, tanpa penuntutan pelanggaran masa lalu dan pengendalian militerisasi, risiko kemunduran otoriter tetap ada, sebagaimana terlihat dari protes berkelanjutan dan kekhawatiran internasional.
Kemajuan sejati memerlukan komitmen teguh pada kebijakan berorientasi rakyat, memastikan demokrasi Indonesia berkembang. Kami tetap optimis bahwa kepemimpinan Presiden Prabowo akan mengutamakan prinsip-prinsip ini demi kepentingan bangsa.
Sumber ;
- Undang-Undang Dasar 1945.
- UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
- Berbagai postingan X dan analisis tentang kebijakan Prabowo (misalnya, Imparsial, Veronica Koman).
- Laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International (diakses melalui sumber publik per 1 September 2025).